Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki
andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik
Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut
menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang
sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi
meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara
tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis
dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber
daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan
ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang
paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah
membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan
besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga
dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah
daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005,
harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi
minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas
makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko
politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat
inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani
untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar
telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang
didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan
penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada
tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar
ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum
mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan
pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan
tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan
pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya
merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang
fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan
pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan
yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi
kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus
berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban
besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi
pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk
mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001,
bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui
pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di
Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal
yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk
memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan
hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian
timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang
lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan
masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan
perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan
infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik
yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat
mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di
Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB.
Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya
pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen
dari PDB.
Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat
pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar
15 persen pada tahun 2006 , menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
No comments:
Post a Comment